Kalau tidak ditulis, aku akan lupa

  
    
         
Kata seorang teman, baiknya aku menulis saat patah hati. Saat hati sedang patah (sepatah-patahnya), lalu dirinya nanti bersorak bangga "kamu adalah penulis patah hati paling kutunggu". Bukan lain karena ya dia sebenarnya juga si Patah Hati, lalu merasa punya teman jika tulisanku seluruhnya adalah cerita yang juga terjadi demikian pada dirinya. Ah aku sih tertawa saja setiap mendengar hal itu. 
  
      Saat kata dan tulisanku keluar satu-satu pada jaman dulu, lalu dia membacanya langsung didepanku, langsung saja badanku yang lesu ditarik, digoncangkan keras-keras sambil tersenyum lebar macam raut mukanya berkata, "patah hati terus ya, tulisanmu harus seperti isi hati yang sedang kurasakan, teruslah hitam putih, nak!". Jadi begitulah aku membentuk diriku, si Penulis Patah Hati, sahabatnya si Patah Hati. 
   
     Lambat laun si Patah Hati menyadari, bahwa tulisanku kini bukan tulisan patah hati. Setidaknya setahun terakhir. Si Patah Hati ini seringkali kecewa, merengek minta dituliskan hal yang mirip dengan suasana hatinya. Lalu kembali kubilang padanya seperti, "maaf ya aku sedang jarang patah hati lagi", atau "maaf nih lagi tidak ada penghayatan". Kukatakan dengan jujur karena ya tidak ada kesedihan yang harus kutuliskan sebegitu patah, atau rasa sedih yang terlalu membingungkan. Mungkin juga sekali dua kali kemudian aku berpikir "ah tidak, tidak sepatah itu", maka tulisan sedihku itupun tidak kembali ke permukaan. Si Patah Hati nampaknya kecewa saat aku tertawa menuliskan cerita yang tidak seremuk hatinya. Jadilah dia saat sekali dua kali sengaja bertemu  sewaktu liburan dirinya menyeletuk sebal, "ganti saja tulisanmu jadi putih hitam, hitam putih nampaknya tidak lagi melekat dengan dirimu".
    
    Diri ini juga sempat berpikir begitu, kalau-kalau ceritaku ini tak lagi hitam putih tapi malah sebaliknya atau warna cerah lainnya. Katanya lagi "baguslah, nanti hitam putihmu itu tulisi saja dengan artikel ilmiah, macam kehilangan jati diri". Batinku terus bilang, ah apa iya? Si Patah Hati sih berkata begitu sambil tertawa tapi 50% yakin dia ingin membaca lagi tulisan yang sepatah dirinya.
   
     Hei tapi tau tidak? Anehnya aku hari ini patah hati yang sangat patah, tapi tidak ingin kuakui. Jadilah aku tidak terlalu yakin bahwa diriku merasa sedih, atau malah kecewa. Perasaanku terlanjur begitu abu-abu, seperti banyak yang ingin kusanggah namun tidak mampu, atau banyak yang ingin kukatakan tapi tidak akan sampai. Mungkin bisa kukatakan akumulasi patah-patah ringan yang sudah terdahulu, tapi karena aku belum selesai mengutarakan hal yang berada di pikiranku, atau malah kalimatku tersangkut di tenggorokan hingga lama-lama terkumpul menjadi patah raksasa, hari ini. Rasanya begitu tidak adil karena lalu-lalu saat patah hati ringan aku hanya diam saja seolah tidak apa-apa karena aku terus meyakinkan diri bahwa memang itu tidak apa-apa. Tapi diriku selalu menerima perasaan patah hati yang terjadi karena diriku, lalu aku kecewa karena aku, akhirnya sedih sendirian tanpa sempat urun pendapat. 

    Ah iya memang aku yang salah maka ya sudah memang seharusnya aku menyesal. 
    Bukannya malah patah hati.

    Si Patah Hati pasti sedikit tertawa mendengar ceritaku kali ini. Tapi sayangnya, aku lupa cara menuliskan cerita hati yang patah, atau tangis sesal di pukul tiga.  









    Hitam putih itu nampaknya mulai habis ruangnya, hilang saja mungkin ya?

Komentar

Postingan Populer